Manusia adalah makhluk Allah SWT yang tidak luput dari amal baik dan buruk. Setiap amal baik dan buruk akan diberi balsan yang sesuai dengan kadarnya. Namun, sebelum mendapat balasan dari amalnya, manusia akan mengalami perjalan panjang dari alam dunia menuju alam akherat.
Perjalanan tersebut memiliki beberapa alur yang harus dilewati, diantaranya adalah proses kematian dan persinggahn di alam barzah. Kematian adalah suatu peristiwa keluarnya ruh dari jasad atau tubuh manusia. Dalam Islam, kematian adalah awal dari perjalanan panjang seorang manusia menuju akherat. Ketika manusia mengalami kematian, dia akan mengalami proses pencabutan nyawa yang dilakukan oleh malaikat Izrail.
Dalam sebuah riwayat hadis, ketika ruh dicabut dari jasadnya atau sering disebut peristiwa sakaratul maut, seorang manusia akan mengalami penderitaan yang amat pedih. Banyak ayat dan hadis yang menceritakan beratnya sakaratul maut, terutama tentang sakaratul maut ahli maksiat dan orang kafir. Seperti potongan ayat dibawah ini :
.......وَلَوْ تَرَىٰٓ إِذِ ٱلظَّٰلِمُونَ فِى غَمَرَٰتِ ٱلْمَوْتِ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةُ بَاسِطُوٓا۟ أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُوٓا۟ أَنفُسَكُمُ ۖ ٱلْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ ٱلْهُونِ بِمَا كُنتُمْ تَقُولُونَ عَلَى ٱللَّهِ غَيْرَ ٱلْحَقِّ وَكُنتُمْ عَنْ ءَايَٰتِهِۦ تَسْتَكْبِرُونَ (الانعام : 93 )
Artinya : “……Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu" Di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.”(Al-An’am : 93)
Beratnya kematian juga tergambar dari perbincangan singkat antara Sayidina ‘Umar ibn Al-Khathab dengan Ka‘b. Pria yang tengah menjabat sebagai khalifah kedua itu bertanya : “Wahai Ka‘b, sampaikanlah kepadaku tentang maut.” Ia menjawab : “Wahai Amirul Mukminin, maut itu bagaikan sebuah pohon yang banyak durinya dimasukkan ke dalam perut ibnu Adam. Setiap duri memegang satu urat darinya. Kemudian ditarik sekaligus oleh seorang laki-laki yang sangat kuat. Maka terputuslah semua urat yang menyangkut pada duri. Tertinggallah urat-urat yang tersisa.”
Kemudian, saat menghadapi sakaratul maut ‘Amr ibn Al-‘Ash pernah ditanya oleh putranya tentang gambaran kematian. Dia menjawab : “Demi Allah, dua sisi tubuhku seakan-akan berada dalam himpitan. Napasku seakan-akan keluar dari lubang jarum. Dan sebuah dahan berduri ditarik sekaligus dari ujung telapak kaki hingga ujung kepalaku.”
Dalam kitab Jami’ al-Ulum wal-Hikam jilid 38 halaman 32, dijelaskan bahwa beratnya kematian juga dirasakan oleh para nabi. Hanya saja menurut Al-Qurthubi, bagi para nabi beratnya kematian memiliki dua keuntungan. Keuntungan pertama adalah menyempurnakan keutamaan mereka dan mengangkat derajat mereka. Dan beratnya kematian mereka bukan berarti sebuah kekurangan atau celaan. Sebab, manusia yang paling berat ujiannya adalah para nabi, kemudian orang-orang di bawah mereka.
Keuntungan kedua adalah memberi tahu umat manusia akan beratnya kematian. Mereka mungkin mengira bahwa kematian itu ringan. Namun, jika beratnya kematian disampaikan oleh para nabi, mereka sendiri merasakannya, padahal mereka adalah orang-orang mulia di sisi Allah, barulah umat akan memahaminya. Hanya saja perbedaan antara kematian manusia biasa dan para nabi adalah ketika para nabi mengalami kematian, mereka akan ditawari dahulu.
Maskipun begitu beratnya gambaran sakaratul maut, ada kabar gembira bagi orang-orang yang beriman. Kabar tersebut terdapat dalam Qs. Al-Fajr ayat 27-28, yang berbunyi :
يا أَيَّتُهاَ النَّفْسُ المُطْمَئِنَّة (27) اِرْجِعِى اِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً (28)
Artinya : “wahai jiwa yang tenang.. keluarlah kepada tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai”.
Dr. Sulaiman Al-Asyqar mengatakan tentang ayat tersebut bahwa Ruh pun tak bisa menunda perintah itu. Dia perlahan mengalir keluar dari jasad seperti keluarnya air yang bersih dan jernih dari mulut geriba air. Namun, seringan-ringannya sakaratul maut bagi orang yang beriman tetap dirasakan cukup berat. Hal itu tampak dari cucuran keringat di keningnya. Demikian seperti yang diungkapan dalam riwayat At-Tirmidzi dari Buraidah. Rasulullah saw. menyatakan:
الْمُؤْمِنُ يَمُوتُ بِعَرَقِ الْجَبِينِ
Artinya : “Orang mukmin itu meninggal dengan keringat di keningnya.”
Keringat tersebut merupakan ungkapan dari beratnya kematian. Ada pula yang mengatakan sebagai tanda baik kematiannya. Sementara Ibnu Malik mengatakan : “Bagi seorang mukmin pun, kematian itu tetap terasa berat, sehingga ia berkeringat di keningnya demi membersihkan dosa-dosanya atau menambah tinggi derajatnya.” Hal ini ditegaskan dalam hadits yang lain, riwayat ‘Alqamah, di mana Rasulullah saw bersabda :
“Sesungguhnya nyawa seorang mukmin keluar sambil berkeringat. Dan aku tidak menyukai kematian seperti kematian himar.” Saat ditanyakan, seperti apa kematian himar. Beliau menjawab : “Yakni kematian mengejutkan,” (HR At-Tirmidzi).
Setelah seorang manusia mengalami proses sakaratul maut, dia memasuki alam kubur atau alam barzah. Allah SWT menjelaskan tentang adanya alam barzah dalam Qs. Al-Mukminun ayat 100, yang berbunyi :
لَعَلِّىٓ أَعْمَلُ صَٰلِحًا فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّآ ۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَآئِلُهَا ۖ وَمِن وَرَآئِهِم بَرْزَخٌ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ
Artinya : “Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan.”
Ayat ini dijelaskan oleh syekh Aidh Al-Qarni dalam kitab Tafsir Al-Muyassar. Berikut penafsiran beliau dalam kitabnya :
Agar aku dapat mengejar apa yang telah aku sia-siakan, yaitu beriman dan taat. (padahal) dia tidak punya hak untuk itu, sehingga apa yang dia minta tidak akan dikabulkan dan tidak akan diberi tangguh baginya. Akan tetapi, itu hanya perkataan yang memang dia yang mengatakannya, tetapi tidak ada gunanya baginya, dan bersama itu dia juga tidak jujur dengan perkataan itu. Karena kalau seandainya dia dikembalikan ke dunia, niscaya dia akan kembali melanggar apa-apa yang dilarang untuk dia kerjakan. Dan orang-orang yang telah meninggal dunia, akan tetap berada di perbatasan dan alam barzah itu, yaitu antara dunia dan akhirat, hingga tibanya hari kebangkitan kembali dan di kumpulkan (untuk menghadap Tuhan).
Dari penjelasan dalam kitab Tafsir Al-Muyassar, dikisahkan bahwa ada seorang manusia yang meminta kepada Allah SWT untuk di kembalikan ke kehidupan dunia. Dia meminta hal itu supaya dia bisa memperbaiki perbuatannya yang telah berlalu. Namun, hal itu tidak akan dikabulkan karena Allah SWT mengetahui bahwa itu hanya ucapan belaka. Setelah dia dikembalikan ke dunia dia hanya akan mengulangi kesalahan yang telah lalu.
Dalam kitab tersebut juga dijelaskan bahwa Allah SWT menyediakan tempat singgah bagi orang-orang yang sudah mati, yaitu alam barzah. Tempat itu adalah tempat diantara alam dunia dan alam akherat. Alam barzah sudah ada sejak zaman Nabi Adam As, meskipun hanya sebagai tempat persinggahan da yang mengatakan lamanya singgah di alam barzah melebihi lamanya di alam dunia.
Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, KH Nurul Irfan, menjelaskan bagaimana kondisi manusia di alam Barzah. Menurutnya, sebagai sekat antara dunia dan akhirat, manusia yang sudah berada di alam Barzah, mereka dapat melihat alam dunia dan akhirat. Mungkin karena hal inilah ada kisah dimana seorang manusia memohon untuk dikembalikan ke kehidupan dunia. Setelah manusia singgah di alam barzah, dia akan mengalami masa menunggu hari kebangkitan.
Kesimpulanya adalah seorang manusia seharusnya bersiap-siap untuk menghadapi kematian, karena setelah mengalami kematian dia tidak bisa mengulangi kehidupan yang telah berlalu. Yang bisa dia lakukan hanya menunggu hari kebangkitan dan menyesali setiap perbuatan buruknya ketika di alam barzah