Malu, hanya itu yang kurasakan saat ini. Mau ditaruh di mana mukaku ini. Ini semua gara-gara setan fajar yang telah berhasil membuatku tergoda. Persetan dengan para setan terkutuk itu. Sekarang aku hanya bisa meringkuk di bawah selimut. Aku tidak bisa menampakkan mukaku di luar sana. Apalagi untuk bertemu dengan para kaum hawa pondok pesantren ini. Ya Allah, apa yang harus kulakukan.
Hari mulai siang, perutku sudah mulai memainkan musik keroncongan yang membuatku tidak tahan dengan suaranya. Aku berpikir sejenak, untung aku tidak lupa dengan kejadian tadi. Kalau aku melupakanya, mungkin sekarang aku sudah sampai di dapur dan melihat para kaum hawa menertawaiku. Memang, lapar dapat mengubah segalanya. Tetapi, kalimat itu tidak berlaku bagiku. Hari ini aku akan pura-pura puasa. Nanti saat maghrib tiba, ketika tidak ada seorang pun kaum hawa di dapur, aku akan makan sepuasnya di dapur. Maafkan aku Ya Allah, tapi hanya ini jalan satu-satunya supaya aku tidak bertemu para kaum penggunjing itu.
Mungkin aku aman untuk hari ini, tetapi bagaimana untuk hari esok. Ya Allah, berilah hambamu ini petunjuk. Aku mencoba mengulang ingatanku tentang kejadian tadi. Tadi ketika aku baru bangun dari tidur, aku mendengar suara yang jelas dan masih terngiang ditelingaku sampai sekarang. Suara itu membuatku kaget, apa lagi aku baru bangun tidur.
“Woy, bangun, sudah lima kali kamu dibangunin tapi malah tidur lagi”. Hah! Sudah lima kali?. Bagaimana bisa aku sesusah itu untuk dibangunkan. Mendengar itu, aku langsung berdiri dan mengganti pakaianku.
Dinginya air yang kubuat untuk berwudhu, membuat kantukku hilang seketika. Tapi, entah mengapa air wudhu itu hanya menghilangkan kantukku untuk sementara. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, biasanya aku langsung tidak merasakan kantuk, bahkan sampai malam tiba.
“Allahuakbar”
Gema takbiratul ihram pertanda sholat subuh telah dimulai. Berat rasanya mata ini untuk terbuka. Namun, kupaksakan saja mata ini untuk terbuka. Aku bisa mengatakan ini beratnya seperti ada yang berayun di mataku.
Dalam setengah kesadaranku, rukun demi rukun sholat dapat kulalui. Akhirnya, aku hampir sampai pada rukun yang paling terakhir. Tetapi, di rukun yang terakhir ini aku dapat dikalahkan oleh para setan fajar yang sejak tadi berayun dengan senang di pelupuk mataku. Pertahanan mataku goyah, aku telah kalah sebelum menyelesaikan rukun terakhir.
Gelap. Hanya hal itu yang dapat kulihat. Dari jauh, terlihat sebuah cahaya yang memancar. Dari cahaya tersebut, aku sadar bahwa aku sedang berada dalam terowongan kegelapan yang aku tak tahu di mana ujungnya. Kukejar cahaya memancar itu. Namun, semakin kukejar cahaya itu semakin menjauh.
Aku berpikir sejenak, lalu aku berdoa. Ya Allah tolonglah hambamu yang terlalu banyak dosa ini, tolonglah hamba untuk mencapai cahaya yang kau perlihatkan kepadaku ini. Alhamdulillah, setelah aku berdoa cahaya itu mendekat dengan sendirinya kepadaku. Namun, ternyata cahaya itu bukan lah jalan keluar. Cahaya itu terlihat seperti layar lebar yang memperlihatkan kepadaku sebuah adegan.
Aku duduk dan menonton layar itu. Di dalamnya, terdapat adegan aku yang sedang keluar dari kelas seusai mengaji. Seusai mengaji, seperti biasa aku mengulang-ulang materi yang disampaikan saat mengaji tadi. Aku tertawa sendiri melihat adegan diriku yang ada dalam layar itu.
Aku terus memperhatikan sambil tertawa melihat tingkahku sendiri. Sampai pada saat adegan yang membuatku merenung sampai sekarang. Adegan itu adalah ketika aku selesai belajar. Di layar itu, aku melihat diriku yang akan pergi tidur. Tetapi, teman-temanku malah mengajakku untuk begadang. Karena mereka mengejekku, akhirnya aku menurut saja.
Mereka mengajakku iuran uang untuk membeli kopi dan rokok. Setelah kopi dan rokok datang, kami segera menikmatinya. Mungkin begadang itu tidak terlalu dipermasalahkan. Tetapi, hal yang kami lakukan saat begadang itu yang bermasalah. Ketika begadang, tidak ada satu hal pun tentang keilmuan yang kami bahas. Dari awal sampai larut malam, yang kami bicarakan hanyalah kejelekan-kejelekan orang.
Sampai akhirnya aku terbangun dari tidurku. Ketika aku bangun, aku mendapati diriku diseliuti oleh sajadah yang banyak. Selain itu, aku mendapati diriku sedang dikerumuni oleh para kaum hawa. Seketika aku berlari keluar dari aula tempat sholat. Dan sampai sekarang aku belum berani keluar dari kamar.
Setelah aku merenungkan kejadianku tadi, akhirnya aku sadar siapa sebenarnya yang menjadi setan fajar atas kejadian memalukan pagi ini. Tapi mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Lagi pula, ini tidak sepenuhnya salah mereka.
Perutku sudah mulai memainkan musik keroncongan lagi. Sepertinya lapar dapat merubahku kali ini. Daripada aku kelaparan, lebih baik aku makan meskipun harus melawan malu karena pasti para kaum hawa akan mengejekku.
Kuambil nasi secukupnya untuk menenangkan perutku ini. Samar-samar, terdengar suara tertawa seperti tertahan di belakangku. Saat kubalikkan badan, betapa terkejutnya diriku. Ternyata para kaum hawa itu telah memperhatikanku dari tadi. Yasudahlah, hal ini tidak akan bertahan lama. Setelah itu aku dapat menjalani hari-hari seperti biasa lagi.