Setiap kali menginjakkan kaki di rumah ibu, hati saya bergetar. Melihat halaman yang tertata rapi dengan berbagai macam bunga dan juga empon-empon yang ditanam di ujung halaman, teras rumah yang bersih dari debu, terasa tintrim, memanjakan mata dan menenangkan batin.
Semenjak saya mempunyai istri, saya jarang mengunjungi rumah ibu. Keluarga saya termasuk keluarga yang sibuk. Suami istri bekerja semua. Hampir tidak ada waktu untuk beristirahat.
Kemarin, anak saya bilang ingin ke rumah nenek. Sebenarnya saya juga ingin, sudah lama saya tidak ke rumah ibu. Namun, pekerjaan saya juga sangat penting. Mungkin saya akan mengunjungi ibu ketika lebaran tiba.
Ketika pulang dari seharian bekerja, saya dan istri saya sudah disambut anak saya.
“ Pae, ayo ke rumah nenek” anak saya mengutarakan keinginannya.
“ Hari minggu saja le, Besok kan kamu sekolah “ langsung dijawab oleh istri saya.
“ Beneran ya, mae sama pae nggak boleh bohong”.
“ Iya, minggu besok kita ke rumah nenek” jawab saya dan istri saya bersamaan.
Saya berdiskusi dengan istri saya. Sebenarnya di hari minggu pekerjaan kami tidak libur. Namun, karena yang meminta anak kami, kami memastikan untuk cuti selama sehari.
Hari yang dinantikan telah tiba. Selagi saya menyiapkan kendaraan, istri saya menyiapkan segala yang dibutuhkan. Setelah semuanya siap, kami berangkat menuju rumah ibu. Rumah ibu terletak di desa. Suasana pedesaan ketika memasuki desa tempat tinggal ibu, mengingatkan saya kepada masa kecil. Anak-anak bermain permainan tradisional bersama, mereka tidak akan beranjak sebelum ada yang menangis. Berbeda dengan anak-anak kota zaman sekarang, mereka sekarang cenderung bermain gadget, playstation, semua serba digital. Melihat anak-anak desa itu, rasanya saya ingin ikut bermain dengan mereka.
Sesampainya di rumah ibu, kami segera mengetuk pintu rumah ibu. Rumah ibu tak banyak berubah, masih seperti dulu. Yang membuat hati bergetar adalah kehebatan ibu dalam menjaga dan merawat rumah peninggalan ayah saya. Rumah selalu tertata rapi dan bersih. Bahkan, sulit sekali ditemui debu di rumah ibu.
Tok!tok!tok!, saya mengetuk pintu dengan pelan karena tidak ingin membuat ibu terganggu. Suara langkah kaki mendekat terdengar dari luar. “ Iya, ini Andi kan?ibu tahu pasti kamu akan datang”. Saya terkejut, bagaimana ibu tahu kalau yang datang adalah saya. “iya, ini Andi buk” saya jawab pertanyaan ibu, walaupun saya masih terkejut dengan pertanyaan ibu.
“Masuk saja le, pintunya tidak dikunci”.
Setelah kami masuk ke dalam, saya tidak menyangka, ternyata ibu sudah mempersiapkan kedatangan kami. Kami langsung bersalaman dengan ibu.
“ Sana, ke dapur dulu, ibu sudah menyiapkan makanan untuk kalian” ibu mempersilahkan kami untuk makan.
Sambil berjalan menuju dapur, saya mengamati sekeliling rumah. Memang tidak ada yang berubah, semuanya masih seperti dulu. Mulai dari perabot, hiasan, dan lantainya, semua masih seperti ketika saya kecil. Namun, pandangan saya berhenti ketika melihat sebuah foto. Dalam foto tersebut, ada lima sosok di dalamnya, yaitu bapak, ibu, saya ,dan kedua adik saya.
Saya meraih foto itu, kemudian memandanginya untuk beberapa saat. Foto itu membuat saya teringat kepada bapak saya. Dulu, bapak saya sering mengajak saya , ibu, dan kedua adik saya untuk mengunjungi rumah nenek saya. Ayah bilang, kita jangan sampai membuat nenek merasa kesepian dikala tuanya.
“ Le, sana ke dapur bergabung dengan istri dan anakmu, ayo makan bareng-bareng” ucap ibu yang melihatku terhanyut dalam lamunanku.
Untung saja ibu datang, malu rasanya kalau ibu melihat saya menitikkan air mata.